Indonesia? Maaf, Anda Bukan Prioritas



”Kapan kira-kira PSSI masuk (Piala Dunia), ya? ” begitu sentilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat nonton bareng laga pembuka Piala Dunia 2010, Afrika Selatan lawan Meksiko, di Denpasar, Bali, Jumat lalu. Harapan melambung, tetapi itulah obsesi publik bola negeri ini. Tanpa lolos ke Piala Dunia, Indonesia tidak akan pernah dianggap di kancah sepak bola internasional.
Beberapa saat menjelang laga Inggris melawan Amerika Serikat, Sabtu (12/6) lalu, terjadi kegaduhan kecil di Media Center Stadion Royal Bafokeng, Rustenburg. Seperti biasa, panitia membagi-bagikan tiket bagi wartawan yang masuk daftar tunggu (waiting list). Ada tiga jenis tiket, yakni tiket menyaksikan laga, tiket jumpa pers, dan tiket wawancara di mixed zone.

Begitu tiket daftar tunggu diumumkan panitia lewat mikrofon, wartawan berhamburan meninggalkan pekerjaan mereka dan memadati meja petugas bagian tiket. ”England-USA, first! England-USA, first!” teriak perempuan sang petugas itu. ”Ini laga Inggris-AS, jadi kami prioritaskan media Inggris dan AS,” jelasnya.

Namanya juga wartawan, di mana-mana gesit cari peluang. Meski sudah berkali-kali ditegaskan bahwa prioritas utama diberikan kepada media Inggris dan AS, wartawan dari luar negara itu tetap berjubel di depan meja petugas. Ada yang berpura- pura tidak tahu, ada yang mencoba ”merayu” dengan bermanis- manis muka.

Situasinya agak kisruh. Maklum, banyak pemain bintang bakal bertanding dan kesempatan mewawancarai mereka tentu bakal memiliki nilai berita lebih tersendiri. ”Sudah saya bilang, tolong antre yang tertib. Otak saya pening, dikelilingi lima laki-laki seperti ini,” ujar perempuan berambut pirang itu, meminta beberapa wartawan di dekatnya menyingkir.

”Saya dari Brasil. (Tiket) mixed zone, please?” kata wartawan Brasil. ”Ya, saya tahu, Brasil tampil di kompetisi ini, tetapi prioritas kami adalah Inggris dan AS. Ada urutan prioritas dalam pembagian tiket, mulai media dari tim yang bertanding, tim peserta, dan seterusnya… dan seterusnya,” jawab petugas media FIFA itu.

Dalam situasi itu, bisa ditebak sikap petugas FIFA terhadap media dari negara yang bukan peserta Piala Dunia. ”Ya, saya tahu Mozambik. Tetapi, seperti saya bilang tadi, kami punya prioritas,” katanya kepada seorang wartawan Mozambik yang berargumentasi bahwa ia layak mendapat tiket karena ia dari negara Afrika, benua yang kini menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Kompas mencoba peruntungan dengan menyebut ”Indonesia”, negara yang pernah mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, di tengah berjubelnya antrean wartawan itu. Indonesia mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, tetapi dicoret FIFA setelah pengurus PSSI gagal meyakinkan pemerintah agar memberikan dukungan.

Dengan menjadi tuan rumah, andai saja diterima dan disetujui FIFA lewat sidang Komite Eksekutif, Indonesia otomatis tampil sebagai peserta Piala Dunia 2022. Sebuah jalan pintas untuk tampil di Piala Dunia tanpa berkeringat. Ketika mengajukan pencalonan diri itu, PSSI dikritik habis tetapi baru menyerah setelah pemerintah enggan memberikan dukungan pada ide mimpi di siang bolong itu.

”No,” jawab petugas FIFA itu, tegas.

Jeweran buat PSSI

Di ajang-ajang bergengsi, seperti Piala Dunia, nama besar negara (entah dari jumlah penduduknya atau kekuatan pengaruh politiknya) tidak menjadi prioritas FIFA. Badan sepak bola dunia itu berpatokan pada kinerja lewat prestasi timnas negara anggota mereka di bidang persepakbolaan internasional.

Tidak perlu didiskusikan lagi, kita tahu, betapa terpuruk prestasi sepak bola tim nasional di bawah kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Selain gagal lolos ke putaran final Piala Asia untuk pertama kali setelah selalu tampil di putaran final sejak 1996, tim ”Merah Putih” juga tersingkir dari penyisihan SEA Games terakhir setelah kalah, antara lain, dari Laos.

Presiden Yudhoyono merasa miris dengan situasi itu dan beberapa waktu lalu menggagas Kongres Nasional Sepak Bola, yang sudah digelar tanpa memberikan hasil apa-apa. Diharapkan, dengan kongres itu PSSI mau berbenah dan menata persepakbolaan yang lagi morat-marit.

Namun, apa yang terjadi? PSSI tidak berubah dan masih tetap seperti dulu. Lihatlah, bagaimana mereka—lewat Komisi Banding—menganulir hukuman-hukuman disiplin, di antaranya kasus Persebaya-Persik yang menurut aturan sudah mengikat. Persik dihukum Komisi Disiplin kalah 0-3 dari Persebaya karena gagal menggelar laga di antara dua klub itu.

Begitulah, semua insan sepak bola negeri ini sudah hafal betul dengan sepak terjang dan patgulipat pengurus PSSI untuk lebih mengutamakan kepentingan mereka, bukan kepentingan sepak bola nasional. Semua orang juga tahu, membangun timnas yang tangguh tidak sekadar mendatangkan pelatih hebat dengan gaji ratusan juta rupiah sebulan.

Lebih dari itu, membangun timnas adalah menata sepak bola nasional secara keseluruhan, mulai dari kompetisi, pembinaan usia dini, dan penegakan aturan. Tanpa itu, tidak mungkin mimpi tampil di Piala Dunia terwujud.

Di saat pikiran menerawang ke sepak bola di Tanah Air, pada menit-menit akhir petugas FIFA itu mengulurkan tiket mixed zone kepada Kompas. Tanpa menoleh dan dingin. Sedingin sambutan FIFA pada akal-akalan bidding ala PSSI.

Tinggalkan komentar